Cinta Saja Tidak Cukup

Perjalanan darat selama 12 jam menuju sebuah kota santri, membuat tubuhku lunglai. Semua demi Febri, cucu semata wayang. Dia berkeras untuk menimba ilmu di Pesantren yang didirikan oleh alumni Mesir, karena sudah terkenal dengan program tahfidznya yang luarbiasa. Bergantian aku mengemudi dengan menantuku Dody, tiba jugalah di tempat yang di tuju. Setelah menyerahkan berkas-berkas pendaftaran Febri, kami diarahkan ke tim pemantauan bakat dan potensi. Tiba-tiba mataku terpaku pada sosok di hadapanku, walau fisiknya telah jauh berubah, bahkan kini telah berhijab, satu hal yang tidak pernah kulupakan, tatapan mata itu, ya, itu milik Andien.

  Flash back....Kutelisik kembali wajah tampanku, siapapun tidak akan protes bahwa aku ini tampan rupawan, plus harta ayah emak yang cukup memadai untuk membuatku berleha-leha. Aku tidak perlu kerja keras seperti Tony kawan sebangku di SMA. Aku juga tidak perlu kuliah seperti Dirga yang kepalanya hampir plontos dihajar rumus-rumus Matematika. Untuk apa aku mempersulit diri sendiri, toh lembaran rupiah demi rupiah sudah pasti menghampiriku setiap matahari terbit? Tapi jangan dulu berburuk sangka, usaha milik orang tuaku tentu saja halal, tidak sedikitpun berkecimpung di dunia hitam.

Siang ini, usai menerima setoran hasil penjualan bambu dari Mang Udin, aku bergegas mandi. Hari ini tidak cukup mandi seperti biasa, sebab malam Minggu ini aku sudah tak sabaran ingin bertemu si dia, Andien, adek kelasku ketika SD. Andien, keras kepala, cuek bahkan jutek, tapi 2 hal yang membuatku takluk, dia pintar dan cantik. Kawan-kawanku tidak habis pikir, kenapa aku masih berharap kepada gadis keras kepala itu, mereka bahkan memberinya gelar 'si jugul'. Wah, ternyata hari ini ada acara malam seni budaya di kampungku, moment yang pas untuk menemui pujaaan hati, kesayanganku.

Setelah bersusah-payah membujuk, akhirnya Andien menjauh dari kawan-kawannya. Kutatap manik matanya yang hitam tapi sangat tajam, duh...makin cinta aku sama si jugul ini. "Dien, aku mau keseriusanmu dengan hubungan kita, selama ini, kita sangat susah untuk bertemu", ucapku perlahan. Menghadapi si jugul yang cantik ini, aku harus ekstra hati-hati. Jangankan untuk pergi berduaan, bertemu saja sangat-sangat jarang, maka aku harus manfaatkan waktu yang sangat berharga ini sebaik mungkin. Andien menjawab sambil buang muka, "kau kan tahu, orang tuaku tidak pernah suka melihat keluargamu, apalagi untuk ke jenjang yang lebih serius." Aku menengadah, mengingat dosa-dosa masa lalu, ketika dengan mudahnya aku mengumbar pesona, dari gadis yang satu ke gadis yang lainnya. Barangkali aku telah menuai perbuatanku selama ini, selalu menyakiti kaum perempuan, dan kini hatiku sangat sakit mendengar kejujuran Andien. Dengan suara parau aku berucap, "kalau begitu, kita kawin lari saja Dien" "Apa? aku tidak sekonyol itu" sergah Andien. "Berarti, kau tidak mencintaiku Andien,..." suaraku semakin parau. Andien menatapku tajam, ibarat sembilu menikam jantung, " Lingga, walaupun aku mencintaimu, tapi cinta saja tidak cukup". Kukejar langkah Andien yang tiba-tiba saja meninggalkan aku, namun langkahku terhenti ketika Andien berucap, "berhenti Lingga, aku kuatir abangku Rio akan menghajarmu kalau dia tahu kita berduaan, dan satu lagi, aku masih mau kuliah". Perlahan tubuh Andien menghilang dari pandangan, belahan hatiku telah menolak terang-terangan ajakanku untuk kawin lari, sesuatu yang lazim ditempuh anak-anak muda di kampungku ketika tidak mendapat restu orang tua.

Kini, Andien kembali di hadapanku setelah 30 tahun, wajah cantiknya masih membekas, tatap matanya sudah tidak menyiratkan dawai-dawai cinta. Kemana Andienku yang dulu, semudah itukah dia melupakan aku, Lingga, anak muda paling tampan di masa itu?. "Silahkan duduk pak Lingga, kita akan mulai test bakat calon santri Rio Febrian". Aku tak kuasa berlama-lama menatap wajah Andien, aku mulai gelisah. Kegelisahanku ditangkap oleh Andien, "kenapa pak Lingga, apakah bapak kurang sehat?", kuangkat wajah, bagaimanapun aku harus berterus-terang siapa diriku, karena nampaknya Andien tidak lagi mengenaliku. " Andien, ini aku Lingga, terakhir kita bertemu di acara seni budaya di kampung Pondok Bambu", lirih suaraku terdengar. Andien terperangah, "masyaAllah, kamu ini bang Lingga, tinggal dimana sekarang?." Suasana kemudian mencair, Riyani istriku dan Maisya putriku, terlibat pembicaraan yang lebih akrab dengan Andien. Selama 1 jam kami mendampingi Febri, usai jugalah rangkaian pendaftaran tersebut. Hingga beranjak pulang, tak sedikitpun Andien ingin bicara berdua denganku, bahkan tatap mata penuh cinta yang pernah kurindukan berpuluh-tahun lalu hilang tak berbekas. Akhirnya aku sadar, benar kata Andien, cinta saja tak cukup. Terlebih setelah aku tahu bahwa Andien bergelar Master Psikologi, manalah mungkin bersanding dengan aku, Lingga yang hanya tamatan SMA. Akan ku buang jauh-jauh kenangan tentang Andien, kelak, Febri akan kuajarkan banyak hal, tapi tidak tentang cinta, sebab cinta saja tidak cukup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARYA ILMIAH JADI BUKU YANG SERU