Perjalanan darat selama 12 jam menuju sebuah kota santri, membuat tubuhku lunglai. Semua demi Febri, cucu semata wayang. Dia berkeras untuk menimba ilmu di Pesantren yang didirikan oleh alumni Mesir, karena sudah terkenal dengan program tahfidznya yang luarbiasa. Bergantian aku mengemudi dengan menantuku Dody, tiba jugalah di tempat yang di tuju. Setelah menyerahkan berkas-berkas pendaftaran Febri, kami diarahkan ke tim pemantauan bakat dan potensi. Tiba-tiba mataku terpaku pada sosok di hadapanku, walau fisiknya telah jauh berubah, bahkan kini telah berhijab, satu hal yang tidak pernah kulupakan, tatapan mata itu, ya, itu milik Andien. Flash back....Kutelisik kembali wajah tampanku, siapapun tidak akan protes bahwa aku ini tampan rupawan, plus harta ayah emak yang cukup memadai untuk membuatku berleha-leha. Aku tidak perlu kerja keras seperti Tony kawan sebangku di SMA. Aku juga tidak perlu kuliah seperti Dirga yang kepalanya hampir plontos dihajar rumus-rumus Matematika
Komentar
Posting Komentar