Berkenalan Dengan Komitmen
Setiap orang butuh komitmen baik itu untuk mendisiplinkan diri sendiri maupun untuk memotivasi orang lain. Seberapa pentingkah komitmen harus dijaga? Ternyata sangat penting untuk menjaga komitmen, walaupun makna komitmen sudah bergeser dari pengertian menurut KBBI. Maka, saat ini saya butuh komitmen untuk menjaga hati dan pikiran, supaya tetap berada dalam lingkaran menulis setiap hari ala “Belajar Menulis Gelombang 16 bersama Om Wijaya Kusumah”.
Menulis setiap hari tentu butuh keberanian, tidak sekadar ikut-ikutan untuk meramaikan jagad maya. Untuk menyelesaikan sebuah tulisan dengan batasan 300-1500 kata, tidak ada ukuran waktu standar. Barangkali, hanya butuh keseriusan untuk mantengin laptop kurang dari seratus menit plus kopi hangat produksi Sidikalang, salah satu sentra penghasil kopi di Sumatera Utara. Jujur, sudah belasan tahun saya mengenal Om Wi, ketika pertamakali beliau memenangi Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional. Ketika itu Om Wi muncul dengan karya inovatif “ngeblog Bersama Siswa”, dan saya masih awam tentang blog dengan segala pernak-perniknya. Hingga kemudian, kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan program Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ , dimana guru harus memanfaatkan teknologi.
Selama berbulan-bulan PJJ berlangsung, maka mulai muncul kegundahan di hati para guru, wali murid, terlebih siswa. Guru kesulitan untuk menyampaikan materi pelajaran via daring, karena berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kondisi gagap teknologi. Hal ini tak dapat dipungkiri, karena selama ini guru terbiasa melakukan Kegiatan Belajar Mengajar secara tatap muka langsung, serta menggunakan video pembelajaran sederhana. Nah, kini saatnya guru harus menggunakan teknologi, baik itu Googlee Classroom, Whatsappgrup, Zoom Meeting, dan sebagainya. Fakta di lapangan sesuai survei yang dilakukan Kemdikbud pada bulan Oktober 2020, sebanyak 60% guru mengalami kendala dalam pembelajaran berbasis IT. So what? haruskah daring dihentikan dan beralih ke luring?, tentu saja tidak memungkinkan untuk melaksanakan pembelajaran luring, karena pandemic covid-19 belum berakhir.
Tidak kalah peliknya masalah yang dihadapi wali murid dengan PJJ, mulai dari tersedianya perangkat android, kuota internet, serta suasana belajar yang harus diciptakan senyaman mungkin di rumah. Bisa dibayangkan andaikata anggota keluarga masih ada yang balita, butuh tontonan ala mobil-mobilan animasi, terutama pada prime time, pukul 9.00-11.00 WIB. Betapa riuh-rendahnya kondisi rumah, sementara anggota keluarga lainnya harus berkutat dengan daring, maka istilah daring akan berubah menjadi darting (darah tinggi).
Kegundahan di hati siswa tentu berbeda lagi dalam menyikapi daring. Hal yang paling mereka tidak sukai adalah tidak bebas berinteraksi, bersenda-gurau seperti biasanya. Karena masa-masa yang paling indah bagi seorang siswa adalah masa di sekolah, ibarat lagu Kisah Kasih di Sekolah, yang dipopulerkan Obbie Mesakh pada tahun 1980-an. Lagu ini juga mengingatkan saya pada beberapa nama yang pernah mewarnai mimpi-mimpi indah, walau tak satupun diantaranya yang berakhir bahagia. Berbagai meeting point yang dapat memacu semangat belajar di sekolah, antara lain, perpustakaan, kantin, lapangan futsal, pojok baca, sehingga semuanya terasa direnggut begitu saja ketika pandemi menyapa. Maka, kosong melomponglah ruang baca, kantin, tiada lagi suara riuh rendah yang biasanya menggema, hening, bahkan daun jatuh di dekat lapangan upacara terdengar berkesiur.
Bahagiakah siswa dengan belajar model daring? Barangkali sebagian diantaranya sangat berbahagia karena tidak harus bangun pagi, malah bisa menambah porsi tidur. Maka, muncullah komunitas baru yang disebut “Kaum Rebahan”, dengan aktivitas rebahan semata. Belajar daring dilakukan sembari rebahan di tempat tidur, bahkan muncul juga “cabut les versi 2020” dengan cara mematikan video ketika zoom meeting berlangsung. Tentu saja hal ini bukan merupakan representasi dari seluruh siswa, karena banyak juga yang bersungguh-sungguh mengikuti model daring.
Kembali kepada komitmen seperti sudah saya ulas diawal tulisan ini. Sudahkah kita memiliki komitmen untuk melakukan pengabdian pada dunia pendidikan? Atau jangan-jangan kita masih setengah hati menjadi ujung tombak pendidikan di negeri ini, dengan berbagai alasan klasik. Untuk itu, marilah kita berkenalan dengan komitmen, selanjutnya kita jaga komitmen tersebut jangan sampai lepas, (ini tidak ada hubungannya dengan lirik lagu ‘ yang baju merah jangan sampai lepas’). Sidang pembaca, ijinkanlah saya untuk berkenalan dengan komitmen menulis setiap hari selama 28 hari dengan tujuan untuk mengatur hentakan keyboard di atas laptop, hingga menelurkan sebuah tulisan sederhana. Menulis itu sangat membahagiakan, menulis mampu menuntaskan rindu dendam, bahkan menulis mampu menyirami jiwa yang gersang. Akhirnya, Basmalah tulisan pertama dari 28 hari telah terwujud bersama rekan-rekan guru se-Indonesia di komunitas Belajar Menulis gelombang ke-16.
Hebat Ibu.... πππ
BalasHapusHebat Bu Chrisma, semoga sukses selaluπππ
BalasHapusSelalu menulis untuk berkarya menulis merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama
BalasHapus